Agresi Militer Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947)
1. Latar Belakang
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Belanda tidak mengakui kedaulatan Indonesia dan berusaha merebut kembali kekuasaan. Konflik antara Indonesia dan Belanda semakin memanas setelah perundingan Linggarjati (15 November 1946), yang mengakui kekuasaan Republik Indonesia atas Jawa, Sumatra, dan Madura. Namun, Belanda melanggar perjanjian ini dengan melancarkan serangan militer.
2. Maksud dan Tujuan Belanda
- Merebut Wilayah Strategis: Belanda ingin menguasai daerah yang kaya sumber daya seperti perkebunan, industri, dan pelabuhan di Jawa dan Sumatra.
- Melemahkan Republik Indonesia: Dengan menyerang wilayah yang dikuasai Indonesia, Belanda berharap bisa menghancurkan pemerintahan dan militer RI.
- Mengukuhkan Kembali Kekuasaan Kolonial: Belanda ingin mengembalikan kekuasaan kolonialnya di Indonesia setelah Jepang menyerah pada 1945.
3. Korban Selama Agresi Militer Belanda I
- Dari Pihak Indonesia: Ribuan rakyat sipil dan pejuang gugur akibat serangan militer Belanda.
- Dari Pihak Belanda: Puluhan hingga ratusan tentara Belanda tewas akibat perlawanan rakyat Indonesia.
- Kerusakan Infrastruktur: Banyak kota dan desa hancur akibat serangan udara dan darat Belanda.
4. Perlawanan Militer Indonesia yang Dipimpin Jenderal Soedirman
Jenderal Soedirman menerapkan strategi perang gerilya untuk melawan kekuatan militer Belanda yang lebih modern dan kuat.
- Taktik “Hit and Run”: Pasukan TNI menyerang secara tiba-tiba lalu menghilang ke hutan dan pegunungan untuk menghindari serangan balik.
- Serangan terhadap Pos-Pos Belanda: Tentara Republik Indonesia (TRI, cikal bakal TNI) menyerang pos-pos Belanda untuk melemahkan pertahanan mereka.
- Mobilisasi Rakyat: Soedirman memanfaatkan dukungan rakyat, termasuk laskar-laskar pejuang, untuk menghambat pergerakan pasukan Belanda.
5. Hasil dan Akhir Agresi Militer Belanda I
- Tekanan Internasional: PBB dan dunia internasional mengecam tindakan Belanda, memaksa mereka melakukan gencatan senjata.
- Perjanjian Renville (17 Januari 1948): Indonesia terpaksa mundur dari beberapa wilayah yang direbut Belanda, tetapi tetap berjuang mempertahankan kemerdekaan.
Perjanjian Renville (17 Januari 1948)
1. Latar Belakang
Setelah Agresi Militer Belanda I (21 Juli – 5 Agustus 1947), Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah strategis di Indonesia. Namun, tekanan dari dunia internasional, terutama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Amerika Serikat, memaksa Belanda dan Indonesia untuk kembali ke meja perundingan.
Untuk menengahi konflik, PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang terdiri dari:
- Amerika Serikat (sebagai mediator netral)
- Australia (mewakili Indonesia)
- Belgia (mewakili Belanda)
Perundingan berlangsung di atas kapal perang USS Renville, yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.
2. Isi Perjanjian Renville
Perjanjian ini menguntungkan Belanda dan merugikan Indonesia. Berikut isi utama perjanjian:
- Pengakuan Garis Van Mook
- Garis ini menjadi batas antara wilayah yang dikuasai Belanda dan wilayah Republik Indonesia.
- Indonesia harus menarik pasukannya dari wilayah yang telah diduduki Belanda.
- Gencatan Senjata
- Kedua pihak sepakat untuk menghentikan semua aksi militer.
- Pemilihan Umum untuk Masa Depan Indonesia
- Belanda berjanji akan mengadakan pemilihan umum untuk menentukan nasib Indonesia, tetapi dalam kerangka “negara federal” yang diinginkan Belanda.
- Belanda Tetap Berkuasa Sementara
- Indonesia hanya diakui di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan sebagian Sumatra.
- Wilayah lainnya masih dalam kontrol Belanda.
3. Dampak Perjanjian Renville
Bagi Indonesia:
- Wilayah Republik semakin menyempit, karena harus mundur dari daerah yang telah direbut Belanda.
- Banyak pasukan TNI dan rakyat yang kecewa, karena hasil perundingan dianggap tidak adil.
- Pemimpin-pemimpin politik seperti Amir Sjarifuddin kehilangan kepercayaan, karena dianggap terlalu lemah dalam perundingan.
Bagi Belanda:
- Berhasil mengamankan wilayah yang mereka duduki secara legal melalui diplomasi.
- Tetap bisa mempertahankan kekuasaan kolonial di sebagian besar Indonesia.
Namun, meskipun Belanda menang secara diplomasi dalam Perjanjian Renville, mereka tetap menghadapi perlawanan rakyat dan TNI.