Di pedalaman Banten, jauh dari hiruk-pikuk kota, masyarakat adat Baduy menjalani kehidupan dengan cara yang sederhana namun penuh makna. Setiap tahun, mereka menanam padi huma, sebuah tradisi turun-temurun yang bukan hanya sekadar bertani, melainkan bagian dari jati diri dan filosofi hidup.
Padi Bukan Sekadar Makanan
Bagi orang Baduy, padi adalah ibu kehidupan. Ia diperlakukan dengan penuh hormat, tidak boleh diperjualbelikan sembarangan, bahkan proses menanam hingga panennya diatur oleh adat. Saat musim tanam tiba, warga berjalan bersama menuju ladang, membuka tanah dengan cara ditugal—membuat lubang kecil menggunakan kayu runcing, lalu menaburkan benih.
Tidak ada mesin, tidak ada pupuk kimia, semua dilakukan dengan tangan dan doa. Bagi mereka, menanam padi adalah ibadah. Setiap butir yang tumbuh dipercaya sebagai titipan leluhur dan berkah dari Sang Pencipta.
Filosofi Padi Huma
Tradisi ini mengajarkan satu hal penting: alam, manusia, dan padi adalah satu kesatuan. Menyakiti tanah dengan bahan kimia, mengganggu hutan, atau memperlakukan padi hanya sebagai komoditas dianggap melanggar harmoni kehidupan. Karena itulah masyarakat Baduy teguh menolak modernisasi pertanian.
Padi huma kemudian disimpan di leuit (lumbung padi) yang terbuat dari kayu dan bambu. Di sanalah padi bisa bertahan puluhan tahun tanpa rusak, seakan ikut menjaga keluarga dari ancaman kelaparan. Filosofinya sederhana namun mendalam: makanan adalah untuk keberlangsungan hidup, bukan untuk ditimbun demi keuntungan semata.
Kelebihan Padi Huma
Selain sarat makna, padi huma juga memiliki keunggulan nyata:
- Lebih tahan lama – berasnya bisa awet hingga 5–10 tahun.
- Rasa istimewa – pulen, harum, dan lebih bergizi.
- Ramah lingkungan – ditanam tanpa pupuk kimia dan pestisida.
- Cadangan pangan strategis – keluarga Baduy tetap aman meski musim paceklik datang.
Menurut penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banten, padi huma memiliki daya simpan lebih tinggi karena kadar air gabah lebih rendah dibandingkan padi sawah, sehingga berasnya tidak mudah rusak oleh hama gudang. Sementara itu, budayawan Sunda, Ajip Rosidi, dalam catatan etnografinya menyebut padi huma sebagai “simbol kemandirian pangan masyarakat Baduy”, karena menjamin kehidupan tanpa harus bergantung pada pasar.
Ritual Kawalu: Menghormati Padi
Salah satu tradisi penting yang terkait dengan padi huma adalah Kawalu, sebuah ritual puasa adat yang dilakukan oleh masyarakat Baduy Dalam setelah musim panen. Selama Kawalu, kampung Baduy Dalam ditutup dari kunjungan orang luar.
Dalam tiga bulan penuh, masyarakat berpantang menerima tamu, menjaga kesucian kampung, dan memperbanyak doa serta ritual penghormatan pada Nyi Pohaci Sanghyang Asri, dewi padi yang dipercaya sebagai simbol kehidupan.
Kawalu menjadi wujud syukur sekaligus pengingat bahwa padi bukan sekadar sumber pangan, melainkan sumber kehidupan yang wajib dihormati. Tradisi ini menegaskan hubungan erat antara manusia, alam, dan keyakinan spiritual yang menjaga keseimbangan hidup.
Pesan dari Leuit Baduy
Di saat dunia modern sibuk mengejar produktivitas dan efisiensi, padi huma memberi pesan yang sederhana namun kuat: ketahanan pangan tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada kearifan menjaga keseimbangan dengan alam.
Leuit-leuit Baduy berdiri sebagai saksi bisu filosofi itu. Di dalamnya tersimpan bukan hanya butir padi, tetapi juga nilai tentang kesabaran, penghormatan terhadap alam, dan keyakinan bahwa hidup selaras dengan tradisi adalah kunci keberlanjutan.
















